Sabtu, 19 November 2011

PENENTUAN WAKTU-WAKTU SHALAT DAN PUASA


Hisab Falak I :



PENENTUAN WAKTU-WAKTU SHALAT
DAN PUASA














Oleh : Drs. Chairul Zen S., Al-Falaky
(Tenaga Ahli Hisab dan Rukyat Kanwil Kementerian Agama)
 Prov. Sumatera Utara/ Dosen Ilmu Falak IAIN SU Medan
Anggota Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Sumut






M E D A N
2010







KATA PENGANTAR PENULIS

Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.,
            Segala puji bagi Allah SWT atas nikmat dan ‘inayah bagi para hambaNya, shalawat dan salam atas junjungan nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ke jalan mardatillah.
            Artikel sederhana ini berjudul “PENENTUAN WAKTU-WAKTU SHALAT DAN PUASA (PEDOMAN DAN  PERHITUNGAN) penulis persembahkan buat para mahasiswa fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara    dan para peminat yang ingin menelusuri secara mendalam bagaimana cara menentukan masuknya tanda awal waktu-waktu shalat baik secara syar’iy maupun hisab ilmu falak.
            Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman dalam perhitungan penentuan waktu-waktu shalat dan imsakiyah Ramadhan sebagaimana yang dikehendaki oleh syari’at Islam dengan lebih teliti dan akurat.
            Oleh sebab itu segala data-data yang terdapat di dalam artikel ilmiah sederhana ini diusahakan dengan penuh ketelitian sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki penulis.
            Mudah-mudahan artikel ilmiah ilmu falak sederhana ini dapat berguna bagi kita semua dan merupakan amal jariah bagi penulis hendaknya. Amin Ya Rabbal  ‘Alamin.

                                                                                    Harjosari I, 01 Oktober 2010
                                                                                    Wassalam Penulis,

                                                                                              d t  o

                                                                                    Drs. Chairul Zen S., Al-Falaky




DAFTAR   ISI

Kata Pengantar Dari Penulis…………………………………………………………….   2
Daftar Isi ………………………………………………………………………………..   3
BAB    I   : SEKILAS TENTANG ILMU FALAK  ………………...............................   3
A.      Pengertian Ilmu Falak………………………………………………………   3
B.       Sejarah Ringkas Ilmu Falak ………………………………………………..   5
C.       Hukum Mempelajari Ilmu Falak …………………………….……………..   7
D.      Data Hisab Matahari ……………………………………………………….   8

BAB    II : KETENTUAN MASUKNYA TANDA  AWAL WAKTU – WAKTU
                   SHALAT BERDASARKAN KETENTUAN FIQH ISLAM  YANG
                   DIREALISASIKAN PADA KETENTUAN HISAB ILMU FALAK ……   13

            A. Ketentuan Masuknya Tanda Awal Waktu-Waktu Shalat ………………....    13
            B. Daftar Catatan Kaki ………………………………………………………..   24
            C. Contoh-Contoh Perhitungan Awal Waktu Shalat ………………………….   26











B A B     I
SEKILAS TENTANG ILMU FALAK

A. Pengertian Ilmu Falak 
            Ilmu Falak menurut  bahasa ialah ilmu yang membahas tentang letak benda-benda  langit besertA dengan pergerakan dan pengaturannya.
            Sedangkan menurut isthilah, Ilmu Falak ialah :
“Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang lintasan benda-benda langit; seperti matahari, bumi, bulan, bintang-bintang, dan benda-benda langit lainnya dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari pada benda-benda langit tersebut serta kedudukannya”. 1
            Berdasarkan rumusan defenisi tersebut di atas, dapat lah disimpulkan bahwa Ilmu Falak  adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji secara khusus seluk-beluk benda-benda langit  kedudukan serta posisinya di ruang angkasa raya.
            Dengan demikian, adapun bahagian-bahagian dari pada Ilmu Falak tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Astronomy                          : Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang benda-benda
                                                  Langit secara umum.

2. Astrology                            : Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang benda-benda
                                                  langit untuk mengetahui perkara-perkara yang ghaib.

3. Astrofisika                          : Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang benda-benda
                                                  langit  dengan cara hokum, alat-alat dan teori ilmu fisika.

4. Astromekanik                      : Ilmu pengetahuan yang  mempelajari tentang benda-benda
                                                  langit dari segi gerakan dan gaya tarik-menarik benda
                                                  benda langit tersebut  dengan cara, hokum dan teori meka
                                                  nika.
5. Cosmogoni                          : Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang benda-benda
                                                  langit dengan tujuan untuk mengetahui latar belakang
                                                  kejadiannya dan perkembangan selanjutnya.           
                             
6. Cosmologi                           : Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang bentuk, tata
                                                  himpunan, sifat-sifat dan perluasannya dari pada jagad
                                                  raya.
7. Ilmu Hisab                          : Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang benda-benda
                                                  langit dari segi perhitungan gerakan dan kedudukan benda
                                                  benda langit tersebut.    

8. Ilmu Myqot                         : Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang benda-benda
                                                  langit untuk mengetahui waktu-waktu baik pada benda
                                                  langit itu sendiri maupun perbandingan dengan waktu
                                                  waktu di benda langit lainnya.

9. Ilmu Hai-ah                         : Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk-beluk
                                                  Rotasi dan Revolusi benda-benda langit.

            Kesimpulan, bahwa Ilmu Falak tersebut ada dua macam kategori; yakni Ilmu Falak yang umum dan Ilmu Falak yang khusus.
Ilmu Falak yang merupakan mata kuliah wajib di Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara di seluruh Indonesia adalah merupakan Ilmu Falak dalam pengertian yang khusus.     

B. Sejarah Ringkas Ilmu Falak

            Menurut  Syaikh Muhammad ibn Yusuf al-Khaiyath, bahwa pertama sekali orang yang meletakkan dasar-dasar ilmu falak dan juga alat-alatnya adalah nabi Idris AS. 2
            Kemudian ilmu ini tersebar luas ke seluruh dunia dan mendapat sambutan para ilmuan dunia.
            Penyelidikan langit perbintangan dengan perhitungan-perhitungan yang cermat dilakukan oleh orang-orang ahli bintang di Babylon, Mesir, Mexico, Peru, dan berbagai tempat lainnya yang terbukti dari petilasan-pertilasan bekas menara di Babylonia, Ninive, dan bekas kuil matahari di Mexico diperkirakan 8000 sampai 10.000 tahun yang lalu. 3
            Seorang sarjana Yunani kuno bernama Thales (636 – 546 SM) telah meramalkan akan terjadi gerhana matahari pada tanggal 28 Mei 585 SM.  berartti bahwa Ilmu Falak telah begitu maju berabad-abad sebelum masehi.
            Sarjana Copernicus (1473 – 1543 SM) dari Polandia berpendapat bahwa mataharilah yang menjadi pusat alam kita.
            Para sarjana falak di abad ke 20 Masehi menganggap bahwa Copernicus itu adalah Bapak Ilmu Falak Modern; sebab dial ah orang yang pertama sekali menjelaskan paham “Heliosentris” (matahari sebagai pusat alam semesta) di mana sebelumnya orang berpegang pada paham “Geosentris” (bumi sebagai pusat alam semesta).
            Sebenarnya paham “heliosentris” sudah dihidupkan oleh sarjana Yunanai bernama Aritarghus (310 – 230 SM) tetapi paham ini ditentang oleh umum karena masih dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles (384 – 322 SM).
            Dengan demikian, Copernicus hanya menghidupkan kembali paham heliosentris dari seorang sarjana Yunani zaman kuno yang bernama Phytagoras dimana ia berpendapat bahwa bumi adalah salah satu planet di samping berputar pada sumbunya juga beredar mengelilingi matahari.
            Anggapan bahwa sebagai Bapak Ilmu Falak Modern adalah suatu kekeliruan karena menutup mata terhadap kenyataan bahwa di mana sarjana-sarjana Islam yang menghidupkan kembali paham heliosentris yang sudah dikuburkan oleh tajamnya filsafat Aristoteles.
            Dari masa ke masa sejak timbulnya paham geosentris para sarjana tidak bosan-bosannya melakukan penyelidikan yang teliti dan sistimatis dengan menggunakan bermacam-macam alat untuk membuktikan bahwa paham heliosentris lah yang benar; yakni Matahari yang menjadi pusat alam dan matahari itu sendiri juga mengadakan revolusi seperti halnya bumi.
            Menurut analisa penulis, paham heliosentris itulah yang diterima orang dari nabi Idris AS sebagai orang yang pertama menerima pengetahuan Ilmu Falak dari Pencipta alam semesta sebagaimana yang dapat dipahami dari al-Qur’an surat Ali Imran ayat 190.   

C. Hukum Mempelajari Ilmu Falak
            Menurut ibn  Hajar al-Haitamiy dalam kitabnya  “Al-Fatawa al-Haditsah”; bahwa ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bintang-bintang diantaranya wajib dipelajari seperti ilmu yang dapat menunjukkan qiblat, waktu-waktu shalat, bersatu dan berbeda matlak’ munculnya hilal dan lain-lain. Ada yang mubah mempelajarinya seperti ilmu yang menunjukkan manzil bulan, lintang dan bujur geografis tempat suatu kota dan lain sebagainya. Dan ada pula yang haram mempelajarinya seperti ilmu yang dapat menunjukkan kejadian yang ghaib-ghaib. 4
            Selanjutnya Zubair Umar al-Jailaniy menjelaskan bahwa hokum mempelajari Ilmu Falak itu adalah fardhu kifayah atas orang-orang yang bersendirian. 5
            Berdasarkan hadis-hadis Rasulullah SAW dan berbagai penjelasan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa hokum mempelajari Ilmu Falak itu berbeda-beda menurut bahagian-bahagiannya, sesuai dengan tujuan yang dicapai dengan mempelajari bahagian-bahagian tersebut.
            Maka hokum mempelajari bahagian Ilmu Falak yang dapat mengetahui dengannya waktu-waktu shalat, arah qiblat, bersatu dan berbeda matla’, imkan rukyah/ istihalah rukyah dan yang semisalnya adalah merupakan fardhu kifayah dan dalam keadaan tertentu adalah fardhu ‘ain.
            Sedangkan hokum mempelajari bahagian Ilmu Falak yang berhubungan dengan mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib adalah haram dan selain dari pada kedua tersebut hukumnya adalah mubah.

D. Data Hisab Matahari
            Untuk  kepentingan pelaksanaan ibadah yang berhubungan dengan waktu dan tempat, maka diperlukan data-data hisab ilmu falak yang berhubungan dengan benda-benda langit; di antaranya adalah matahari, bumi dan bulan.
            Peredaran ketiga benda langit inilah yang erat kaitannya dengan perhitungan penentuan masuknya tanda awal waktu-waktu shalat, penentuan ketepatan arah qiblat, perhitungan penentuan awal dan akhir bulan qomariah dan gerhana matahari dan bulan.
            Untuk mengetahui kedudukan posisi matahari pada awal masing-masing waktu shalat terlebih dahulu harus diketahui posisi matahari (=deklinasi matahari); yakni jarak matahari dari garis equator langit (ekliptika), demikian juga halnya dengan kedudukan matahari pada sa’at berada di garis meridian yang disebut dengan istilah “meridian pass”
(=waktu matahari berkulminasi/ waktu matahari menengah).
            Sebelum kita dapat mengetahui posisi matahari, terlebih dahulu harus ditentukan data-data matahari pada tanggal yang diinginkan.
            Untuk medapatkan data-data matahari tersebut dapat dipergunakan program rumus hisab falakiyah dengan sistim Lunar Personal Number Object (LPNO) Standard Thn. 2000 sebagai berikut :

Argumen Data Hisab Dasar :
Perhitungan Hari Julian :
Jumlah hari Thn Masehi Sempurna :
       1.  JHM = int ((TM -1) x  365,25 ) +  (Tgl  +  XM )  -  G     
            TM   = Tahun Masehi yang sedang berjalan
            Tgl    = Tanggal yang dimaksud
            XM   = Data Harian Bulan dalam Tarikh Masehi
            G       = Anggaran Gregorius (Data Kesalahan Hari Dalam Tahun Abad Masehi)    
            Int      = Integer (Harga nilai yang bulat saja yang diambil)

            Tabel Data Harian Bulan Dalam Tarikh Masehi (XM) :
Tanggal
Nama Bulan
Jumlah Hari
0
Januari
000   Hari
0
Februari
031   Hari
0
Maret
059   Hari
0
April
090   Hari
0
Mei
120   Hari
0
Juni
151   Hari
0
Juli
181   Hari
0
Agustus
212   Hari
0
September
243   Hari
0
Oktober
273   Hari
0
November
304   Hari
0
Desember
334   Hari
           
Catatan : Bila Tahun Masehi yang sedang berjalan yang dimaksud/ TM adalah merupakan Tahun Kabisat, maka nilai XM   nya harus ditambah satu mulai dari bulan Maret sampai dengan Desember.

Tabel Data Anggaran Gregorius (Data Kesalahan Hari Dalam Thn Abad Masehi/ G) :

Tahun Abad
Kesalahan Hari
Tahun Abad
Kesalahan Hari
>1500 M.
00
1500 M.
10
1600 M.
10
1700 M.
11
1800 M.
12
1900 M.
13
2000 M.
13
2100 M.
14
2200 M.
15
2300 M.
16
2400 M.
16
2500 M.
17
2600 M.
18
2700 M.
19
2800 M.
19
2900 M.
20
3000 M.
21
3100 M.
22
3200 M.
22
3300 M.
23
3400 M.
24
3500 M.
25
3600 M.
25
3700 M.
26
3800 M.
27
3900 M.
28
4000 M.
28
4100 M.
29
4200 M.
30
4300 M.
31
4400 M.
31
4500 M.
32
4600 M.
33
4700 M.
34
4800 M.
34
4900 M.
35
5000 M.
36
5100 M.
37
5200 M.
37
5300 M.
38

            2. T = ( JHM  - 693598 + 0,20833333 +  (J / 24)) / 365,25 – 1
            dimana  harga  ( J ) adalah Waktu (Jam) sa’at dilakukannya perhitungan   
            3. A = 280, 460 +  36000,77129 x T
            4. B = 357,528   + 35999,05096  x  T
            5. E = 23,439      -  0,01461  x   T
Rumus Hisab Dasar Untuk Data Matahari :
            6. Bujur Matahari (Longitude of Sun) :
                LS     =  A +  1,915 x Sin B + 0,02  x  Sin (2 x B)
            7. Deklinasi Matahari (Declination of Sun) :
                DS     =  Sin -1 ( Sin LS  x  Sin  E)


            8. Panjatan Tegak / Kedudukan Bintang Terhadap Matahari (Ascencio Rekta
                of Sun) :
                RS     =  Tan -1 ( Tan LS  x  Cos  E)     dimana harga  (RS) ditentukan :
                - bila (LS) bernilai  < 90o  maka harga  RS   apa adanya
                - bila (LS) bernilai  < 270o  maka harga  RS =  RS  +   180o 
                - bila (LS) bernilai  > 270o  maka harga  RS =  RS  +   360o

            9. Perata Waktu Matahari (Equation of Time) :
                   e      =  (A – RS) /  15
            10. Meridian Pass (Sa’at  Matahari Berkulminasi di Meridian) :
                   MP  =  12 – e
            11. Koreksi Waktu Kesatuan (KWK) suatu tempat dari  Standard Bujur Waktu
                  Indonesia :
                  KWK    =  (SBWI   -   Bujur Geografis Tempat) / 15
                 SBWI  (Standard Bujur Waktu Indonesia) :
                        - untuk  WIB               = 105o  BT
                        - untuk  WITA                        = 120o  BT
                        - untuk  WIT               = 135o  BT

            12. Koreksi Koversi Waktu Tempat dari Waktu Kota Standard :
                        KW     =  ( LE Std  -  LE  Kt ) / 15
                        LE Std            = Bujur Geografis Kota yang dijadikan sebagai waktu standard
                        LE Kt  = Bujur Geografis Kota yang diinginkan
            13. Standard Penentuan Waktu Suatu Negara dari Standard Waktu GMT  :
                        - untuk kota-kota Negara yang bujur geografisnya di timur ( BT ) :
                           Std WN  =  12  +   (Std Bujur Waktu Negara / 15)
- untuk kota-kota Negara yang bujur geografisnya di barat ( BB ) :
   Std WN  =  12   -   (Std Bujur Waktu Negara / 15)

            14. Sudut Waktu Matahari Untuk Awal Waktu Shalat :
                  TShalat  =  Cos -1 ((Cos Z – Sin DS x Sin PE) / Cos DS x Cos PE)) / 15
                    Z       =  Zenith (tinggi matahari di atas meridian ketika masuk awal waktu
                                  Shalat.
                    DS    =   Deklinasi Matahari
                    PE     =   Position of Earth (Lintang Tempat suatu kota)                                                                                              













           



B A B     II
KETENTUAN MASUKNYA TANDA AWAL WAKTU-WAKTU
SHALAT BERDASARKAN KETENTUAN FIQH ISLAM DIREALISASIKAN PADA KETENTUAN HISAB ILMU FALAK

A. Ketentuan Masuknya Tanda Awal Waktu-Waktu Shalat
            Penentuan masuknya tanda awal waktu-waktu shalat dan imsakiyah Ramadhan berdasarkan pada ketentuan hisab ilmu falak adalah didasarkan pada beberapa unsur perhitungan; yakni sebagai berikut :
  1. Kapan dilakukannya perhitungan waktu-waktu shalat (tanggal, bulan, tahun) dalam Tarikh Masehi.
  2. Data Deklinasi Matahari (DS) tanggal yang dimaksud.
  3. Data Lintang Geografis (PE) kota yang dimaksud.
  4. Data Meridian Pass (MP) pada tanggal yang dimaksud.
  5. Data nilai KWK  kota yang dimaksud dari Standard Bujur Waktu (SBW) nya.
Untuk wilayah Indonesia (WIB, WITA, dan WIT).
            Hal ini dimaksudkan agar perhitungan yang dilakukan dalam menghisab waktu-waktu shalat  mencapai tingkat ketelitian dan ke-akurasian yang sempurna, sehingga dapat dipergunakan untuk masa yang lama sampai berpuluh-puluh tahun bahkan sampai ratusan tahun.
            Di bawah ini penulis kemukakan secara rinci tentang ketentuan tanda masuknya awal waktu-waktu shalat dan imsakiyah Ramadhan berdasarkan konsepsi Fiqh Islamy yang direalisasikan ke dalam program rumus-rumus hisab ilmu falak beserta cara perhitungannya sebagai berikut :
  1. Shalat Zhuhur
Adapun tanda masuknya awal waktu Zhuhur adalah  ditandai dengan tergelincirnya matahari pada sa’at tengah hari tepat.


Dalam nash al-Qur’an Allah SWT menegaskannya dengan ungkapan (Qs. Al-Isra’: 78)  “lidulukis syams“ (=sejak tergelincirnya matahari di pertengahan langit)
Menurut kesepakatan ‘Ulama bahwa waktu antara langsirnya matahari sampai baying-bayang setiap sesuatu benda menjadi sama dengan bendanya tersebut setelah dikurangi sa’at langsirnya itu sendiri adalah merupakan waktu untuk shalat Zhuhur. 1
Sebahagian sahabat memperbolehkan shalat Zhuhur dilaksanakan sebelum langsirnya matahari, hanya saja menurut ketentuan ijma’ yang sudah pasti langsirnya matahari adalah merupakan awal waktu permulaan waktu shalat Zhuhur. 2
Dalam Ilmu Falak, gelincir matahari pada tengah hari itu diistilahkan dengan ungkapan “Matahari Berkulminasi”; yakni apabila matahari telah mencapai kedudukannya yang paling tinggi di langit dalam perjalanan hariannya (=gerak semu).
Sedangkan dalam beberapa literatur al-manak lainnya sering disebut dengan istilah “Meridian Pass” atau  “Meridian Passage” yang berarti bahwa matahari sedang melintasi meridian setempat. Jarak pusat matahari dari titik Zenith (=titik puncak) pada sa’at tersebut adalah sebesar nol derajat.
Oleh karenanya, penentuan tanda masuknya awal waktu shalat Zhuhur tersebut dengan menggunakan rumus hisab ilmu falak dapat ditentukan sebagai berikut :
Waktu Zhuhur  =  MP  +  KWK   +  i
dimana  harga   ( i ) ; Ihtiyath; yakni penambahan koreksi waktu sebesar dua menit terhadap hasil waktu shalat menurut hisab, untuk sikap keberhati-hatian dalam pelaksanaan ibadah shalat yang akan dilaksanakan.





  1. Shalat ‘Ashar
Tidak ada perbedaan di kalangan Ahlu al- ‘Ilmi bahwa permulaan waktu shalat ‘Ashar ialah pada waktu bayang-bayang setiap benda menjadi sama dengan bendanya tersebut. 3
Pendapat yang masyhur dari pada Imam Abu Hanifah, bahwa permulaan awal waktu shalat ‘Ashar adalah pada waktu bayang-bayang setiap benda menjadi dua kali dari pada wujud bendanya sendiri. 4
Semua orang termasuk mereka yang berguru kepada Imam Abu Hanifah tidak sependapat dengan beliau dalam masalah ini, tetapi sebahagian dari golongan mazhab Hanafi mendukung beliau.
Menurut Imam as-Syafi’iy dan para pengikutnya menetapkan bahwa permulaan awal waktu shalat ‘Ashar ialah pada waktu bayang-bayang setiap benda yang menjadi satu kali dari pada bendanya sendiri. 5
Pendapat inilah yang menjadi pegangan para ‘Ulama dalam menetapkan tanda awal waktu shalat ‘Ashar.
Menurut ijma’ , bahwa waktu shalat ‘Ashar ialah seperempat siang. Oleh karenanya bagi orang-orang yang melaksanakan shalat ‘Ashar sedangkan matahari  masih putih bersih maka berarti bahwa ia dianggap telah melaksanakan shalat ‘Ashar pada waktunya.
Apabila matahari telah terbenam seluruhnya, maka waktu melaksanakan shalat ‘Ashar telah habis bagi selain orang yang mengqadhanya. (Baca : Fathul Bariy, jilid II, hal. 20,22,32; Maratibul Ijma’ hal. 26; al-Mughniy al-Muhtaj jilid I, hal. 334).
Pada sa’at matahari melintasi meridian; yakni pada awal waktu shalat Zhuhur sebuah tonggak yang dipancangkan secara tegak lurus ke dalam tanah, akan membuat bayang-bayang yang panjangnya ditentukan oleh tingginya matahari sa’at berkulminasi tersebut. Semakin tinggi kedudukan matahari di atas meridian, maka akan semakin pendek pula bayang-bayang tersebut, demikian pula sebaliknya semakin rendah’ kedudukan matahari maka semakin panjang pula bayang-bayang tonggak tersebut.
Setelah tergelincirnya matahari meneruskan perjalanannya kea rah barat dan bertambah panjanglah bayang-bayang dari pada tonggak tersebut. Bila bayang-bayang panjangnya melebihi satu kali tinggi tonggak tersebut, maka masuklah tanda awal waktu shalat  ‘Ashar. 6
Alasannya; kedudukan matahari pada awal waktu shalat Zhuhur bagi tempat-tempat yang kedudukan langitnya tegak lurus; yakni di sekitar daerah khatulistiwa seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapore, Brunai Darussalam, Makkah, Asia, Afrika dan selainnya sampai batas lintang 23,5o  baik di kawasan Lintang Utara maupun di Selatan pada tengah hari matahari berkedudukan tinggi di langit.
Dengan demikian, penambahan panjang bayang-bayang tonggak dengan satu kali tingginya tonggak tersebut itu sendiri dimasukkan agar antara panjang waktu shalat Zhuhur dan waktu shalat ‘Ashar menjadi seimbang atau stabil.
Sedangkan bagi tempat-tempat lainnya; yakni di sekitar kawasan Temperature Zone dan Frigid Zone (=daerah yang tidak normal terutama pada posisi lintang tempat  46o  hingga daerah sekitar kutub 90o  derajat), penentuan masuknya awal waktu shalat ‘Ashar haruslah ditambah atau ditentukan dengan dua kali panjang bayang-bayang dari tinggi tonggak itu sendiri.
Alasannya; bahwa posisi matahari pada awal waktu shalat Zhuhur tidak begitu tinggi kedudukannya di atas meridian langit,. Dengan demikian, bila ditetapkan syarat masuknya awal waktu shalat ‘Ashar dengan bertambah panjangnya bayang-bayang tonggak dengan satu kali tingginya tonggak itu sendiri, maka awal waktu shalat ‘Ashar akan terlalu cepat, sehingga waktu shalat Zhuhur akan menjadi terlalu panjang.
Untuk memudahkan cara menentukan masuknya tanda awal waktu shalat ‘Ashar kita pergunakan rumus hisab falak sebagai berikut :

 
Waktu ‘Ashar  =  MP   +  KWK  +   TSA   +  i      ; dimana diketahui bahwa :
Sudut Waktu Matahari pada sa’at awal waktu shalat ‘Ashar (TSA) dapat ditentukan sebagai berikut :
TSA    =  Cos -1 ((Cos ZA – Sin DS  x  Sin PE) / Cos DS  x  Cos PE) /15
ZA      =  Tan -1 ( Tan (Abs(DS -  PE))  +  1)  ;   dimana bila harga  (DS -  PE)
                nilainya negatif  harus dipositifkan.

  1. Shalat Maghrib
Mengenai ketentuan masuknya tanda awal waktu shalat Maghrib menurut ketentuan nash al-Qur’an adalah diawali dengan bahagian permulaan malam. (Baca : QS. Hud : 14).
Ayat al-Qur’an tersebut diperjelas oleh hadits Rasulullah SAW tentang ke-imaman Jibril AS yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah ibn ‘Umar RA (… dan awal waktu shalat Maghrib adalah selama syafaq atau awan merah di ufuk belahan Barat belum hilang…. ).
Menurut Imam as-Syafi-iy dan yang lain dari golongan ahli bahasa bahwa yang dinamakan dengan Syafaq itu ialah warna merah pada tempat matahari terbenam.7
Oleh sebab itu, selama syafaq tersebut belum hilang dari sejak terbenamnya matahari di ufuk Barat, selama itu pula waktu shalat Maghrib masih ada.
Mengenai batas berakhirnya waktu shalat Maghrib menurut ijma’ ‘Ulama ialah dengan hilangnya syafaq; yakni kilauan cahaya matahari yang tampak kemerah-merahan di langit, hal ini bermula sejak terbenamnya matahari dan dinamakan dengan istilah “Syafaq Ahmar”.
Dalam ilmu falak, peristiwa matahari terbenam diperincikan sebagai keadaan bahwa bila tepi piringan matahari pada bahagian sebelah atas terletak pada ufuk mar’i  (yakni ufuk yang tampak pada mata telanjang), jadi titik pusatnya berkedudukan sebesar satu jari-jari piringan matahari di bawah garis ufuk. 8

Kemudian ada pengaruh dari pada atmosfeer bumi yang seolah-olah mengangkat gambaran matahari, sehingga kedudukannya yang terlihat pada kita menjadi lebih tinggi dari pada kedudukan yang sebenarnya. Peristiwa inilah yang diistilahkan dalam ilmu falak dengan “refraksi” atau pembiasan cahaya.
Oleh karenanya mata kita di atas permukaan bumi melihat ufuk menjadi merendah, keadaan mana dalam ilmu falak sering disebut dengan istilah “Difraksi”  atau Kerendahan Ufuk.
Akhirnya, segala keadaan yang telah dikemukakan di atas tersebut, mempunyai dampak bahwa untuk dapat melakukan hisab perhitungan terhadap terbit dan terbenam matahari, maka kedudukan titik pusat matahari diperhitungkan sebesar satu derjat di bawah garis ufuk (untuk terbenam) dan satu derjat di atas garis ufuk (untuk terbit); yakni 16’  buat jari-jari piringan matahari, 34’  buat refraksi, dan 10’  buat kerendahan ufuk (dip) yang disesuaikan dengan ketinggian tempat sekitar 31 meter di atas permukaan bumi.
Dengan ketentuan hisab perhitungan tersebut di atas, maka ditetapkan bahwa jarak titik pusat matahari dari titik zenith ketika terbit dan terbenam (Syuruq dan Ghurub) adalah sebesar  91o  derjat.
Terhadap penentuan terbit dan terbenam matahari bagi suatu tempat hendaknya harus diperhatikan atau diperhitungkan ketinggian tempat tersebut dari permukaan bumi ; yakni dengan menggunakan koreksi kerendahan ufuk hal ini sangat  berguna untuk keberhati-hatian ketelitian dalam perhitungan.
Adapun yang dimaksud dengan “ketinggian mata” disini bukanlah ketinggian di atas permukaan laut, melainkan ketinggian di atas daerah yang luas sekeliling sampai ke kaki langit (garis ufuk) kea rah Barat tempat matahari terbenam atau kea rah Timur tempat matahari terbit.
Bila berdiri pada suatu tempat yang ketinggian dengan pandangan bebas sampai ke permukaan laut, di bahagian Barat atau Timur dalam hal ini koreksi yang dipergunakan haruslah sepenuhnya berdasarkan pada daftar koreksi bagi kerendahan ufuk.
Oleh sebab itu, sampai pada ketinggian 31 meter di atas permukaan bumi tidak perlu dilakukan koreksi buat ketinggian mata. Sedangkan bagi tempat-tempat yang ketinggiannya melebihi 31 meter dianjurkan mempergunakan daftar koreksi.
Bagi waktu Syuruq nilai koreksinya ditambahkan dan buat waktu ghurub matahari nilai koreksi dikurangkan.
Untuk mengetahui berapa besar nilai koreksi kerendahan ufuk (dip) tersebut, dicari dengan menggunakan rumus hisab ilmu falak sebagai berikut :

D’        =          (3,2  x  h)

Keterangan Rumus :
D’        =  Jumlah menit penuh busur derjat bagi kerendahan ufuk sama dengan
                akar  dari pada 3,2  kali jumlah meter ketinggian mata di atas
                permukaan bumi.
H         = Tinggi mata untuk ketinggian suatu tempat di atas permukaan bumi
                (dihitung dengan satuan meter).

Ketentuan tersebut di atas, jika dialihkan ke dalam program rumus hisab ilmu falak  dapat ditentukan bahwa awal waktu shalat Maghrib dan Syuruq (terbit matahari) sebagai berikut :

WM     = MP  +  KWK  + TM   +   i             dimana harga ™  ditentukan :

TM      = Cos -1 ((Cos 91   -  Sin DS x  Sin PE) / Cos DS  x  Cos PE) / 15 

TM      = Sudut waktu matahari pada sa’at  Maghrib dan Syuruq (terbit matahari)
               dari titik  zenith (puncak pertengahan langit).


Catatan: Untuk waktu Syuruq (terbit matahari) maka nilai /TM   nya harus dinegatifkan, kemudian hasil hisabnya tidak boleh ditambah dengan ihtiyath.

  1. Waktu Shalat ‘Isya
Ketentuan tanda masuknya awal waktu shalat ‘Isya telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah ibn ‘Umar RA (…bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Waktu shalat ‘Isya sampai tengah malam yang kedua…” (sampai akhir hadits)).
Dari mafhum hadits tersebut di atas, dapat ditentukan bahwa tanda masuknya awal waktu shalat ‘Isya adalah ditandai dengan hilangnya syafaq atau awan merah pada langit sebelah Barat.
Menurut ketentuan ijma’ Ulama, hilangnya syafaq; yakni sisa kilauan cahaya matahari yang tampak kemerah-merahan di langit.
Ini bermula sejak terbenamnya matahari dan dinamakan dengan syafaq ahmar. Bila warna kemerah-merahan ini hilang, maka tinggallah apa yang dinamakan dengan syafaq abyadh.
Akhir dari pada kedua syafaq ini adalah merupakan awal waktu shalat  ‘Isya sampai terbitnya fajar shadiq.
(Lebih lanjut baca : Nailul Authar, jilid II, hal. 10; Maratibul Ijma’ hal. 26; Bidayah al-Mujtahid jilid I, hal. 94; Mughniy al-Muhtaj, jilid I, hal. 339; dan Syarh al-Muhazzab, jilid III, hal. 41).   
Hilangnya syafaq menurut ketentuan ilmu falak ialah apabila titik pusat matahari beberapa derjat di bawah garis ufuk.
Dalam hal ini para ahli falak berbeda pendapat dalam menetapkan berapa besar nilai harga derjat di bawah ufuk.
Ada yang menetapkan harus 16o ; ada yang 17o  dan ada pula yang menetapkan 18o di bawah garis ufuk. 9 


Dengan demikian, maka dapatlah ditetapkan bahwa (ZI) yakni jarak titik pusat matahari dari zenith tatkala masuknya awal waktu shalat ‘Isya adalah sebesar 108o derjat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapatlah ditentukan bahwa tanda masuknya awal waktu shalat ‘Isya menurut ketentuan hisab ilmu falak adalah sebagai berikut:

 WI   = MP  +  KWK  +  TI   +  i     ;  dimana ditentukan :
            TI  =  Cos -1 ((Cos 108 – Sin DS x  Sin PE) / Cos DS  x  Cos PE) /15
            TI  =   Sudut waktu matahari pada sa’at masuknya awal waktu shalat ‘Isya
                       dari titik zenith.           

  1. Waktu Shalat Shubuh
Menurut ijma’ Ulama, bahwa permulaan awal waktu shalat Shubuh adalah ditandai dengan terbitnya fajar shiddiq; yakni semburat cahaya putih yang melintang di ufuk Timur tempat terbitnya matahari di setiap waktu, berpindah-pindah menurut perpindahan rotasi semu matahari. 10
Hal ini merupakan permulaan sinar matahari, lalu bertambah putih dan terkadang-kadang bercampur dengan warna merah yang indah, fajar inilah yang disebut dengan istilah “Fajar Akhir”.
Adapun fajar awal; yakni seleret sinar yang vertical di angkasa seperti ekor serigala lalu setelah itu muncul lagi kegelapan di ufuk Timur, pada waktu tersebut belum masuk waktu shalat Shubuh tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘Ulama.
Sedangkan berakhirnya waktu shalat Shubuh tersebut ditandai dengan terbitnya matahari di ufuk Timur, kecuali menurut pendapat yang diriwayatkan dari ibn Qosim dan sebahagian as-habus Syafi’iy mengatakan bahwa akhir dari pada waktu shalat Shubuh adalah bersinarnya matahari.

(Lebih lanjut baca : al-Mughniy al-Muhtaj jilid I, hal. 341; Maratibul Ijma’ hal. 206;  al-Muhalla hal. 338;  Bidayah al-Mujtahid jilid I  hal. 94;  al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab jilid III, hal. 47).
Dalam ilmu falak, sa’at tampaknya fajar shadiq didefenisikan dengan istilah “posisi matahari sebesar  20o derjat di bawah garis ufuk.”.
Dalam hal ini para ahli falak berbeda pendapat tentang posisi matahari tatkala masuknya awal waktu shalat Shubuh; ada pendapat yang mengatakan harus 18o di bawah garis ufuk, ada pula 20o derjat, bahkan ada pula yang mengatakan harus 21o derjat di bawah garis ufuk. 11
Maka pendapat yang paling abash serta yang menjadi pegangan kita adalah 20o derjat di bawah ufuk. 12
Dengan demikian, dapatlah ditetapkan bahwa (ZS); yakni jarak titik pusat matahari dari titik zenith sa’at masuknya awal waktu shalat Shubuh berdasarkan pada rumus hisab ilmu falak adalah sebagai berikut:

  WS   =  MP  +  KWK  +  TS  +  i      dimana harga (TS) ditentukan dengan:
           TS    =  Cos -1 (( Cos 110 -  Sin DS  x  Sin PE) / Cos DS x  Cos PE) /15
           TS    =  Sudut waktu matahari pada sa’at masuknya tanda awal waktu
                        Shalat Shubuh.
Catatan: Nilai hasil perhitungan (TS) selamanya harus dinegatifkan.

Selanjutnya untuk menentukan awal waktu masuknya waktu imsakiyah puasa Ramadhan dapat ditentukan dengan menggunakan rumus hisab ilmu falak sebagai berikut:
Wkt Imsak  = MP  +  KWK  + T.Imsak             dimana harga (T.Imsak) :
     T.Imsak = Cos-1 ( - Tan PE x Tan DS + Sin (-22) / Cos PE x Cos DS) / 15



Sedangkan untuk menentukan tanda awal waktu shalat sunnah Dhuha dapat dihitung dengan menggunakan rumus hisab ilmu falak sebagai berikut:
   W. Dhuha  =  MP  +  KWK  -  T dh        dimana harga (T dh) dapat dihitung :
   T dh      =  Cos -1 ( - Tan PE x Tan DS +  Sin 04o 22’ / Cos PE x Cos DS) / 15



  
 
     


           


           
  

   



           
 

     


DAFTAR CATATAN KAKI

Untuk  BAB   I  :

01.  Usman ibn Abdillah al-‘Alawiy, Aiqadunnuyani, al-Mubarakah, Betawi, 1321 H., hal.  18.

02.  Muhammad Yusuf al-Khayyath, Laalin Nadiyah, Mushtofa al-Baby al-Halaby,
      Mesir, 1348 H., hal. 4.

03.  Ibn Hajar al-Haitamiy, al-Fatawa al-Haditsiyah, Mushtofa al-Baby al-Halaby,
Mesir, 1356 H., hal. 40.

04.  Zubair al-Jailany, al-Khulashatul Wafiyyah, Malathiy, Surakarta, t.t., hal. 6.


Untuk  BAB   II  :

       01. Saidi Abi Habied, Ensiklopedi Ijma’ (Persepakatan Ulama Dalam Hukum Islam)
             Alih bahasa oleh A. Sahal Machfudh, Mushtofa Bisry, Pustaka Firdaus, Jakarta,
             Cet. I, April 1987 M., hal. 622

02.    Ibid..
03.    Ibn Rusyd al-Qurthubiy, Bidayah al-Mujtahid, Darul Ihya Kutub al-‘Arabiyyah,
Indonesia, t.t., juz. I, hal. 68.

04.    Muhammad Idris as-Syafi-iy, al-Umm, alih bahasa oleh H. Ismail Ya’cub,
       Faizan, Semarang, cet. III, 1985 M., hal. 179.

05.    Sa’di Abi Habied, op.cit., hal. 621.

06.    Ibid..

07.    Saadoeddin Djambek, Shalat dan Puasa Di Daerah Kutub, Bulan Bintang,
Jakarta, cet. I, 1974 M., hal. 13.

08.    Maratibul Ijma’; hal. 26.



09.    Saadoeddin Djambek, op.cit..

10.    Ibid..

11.    Ibid., hal. 17.

12.    Pendapat inilah yang menjadi pegangan penulis, dan juga guru besar penulis
(alm. Drs. H. Teungku Muhammad Ali Muda).
     


        


















C. Contoh-Contoh Perhitungan Awal Waktu Shalat
Tentukan Awal Waktu-Waktu Shalat di Kota Medan tgl. 03 Maret 2011 M.  :
Penyelesaiannya :
  1. Jumlah hari seluruhnya dalam tarikh Masehi untuk tanggal  03 Maret 2011 M. :
JHM  =  int ((TM -1) x  365,25 ) +  (Tgl  +  XM )  -  G    
               int ((2011 – 1) x 365,25) + (03 + 59) – 13      =    734201   Hari

      2.   ( T)      = . ( JHM  - 693598 + 0,20833333 +  (J / 24)) / 365,25 – 1     
                             ( 734201 – 693598 + 0,20833333 + (12/ 24)) / 36525 - 1
                        =   0.1116689482
       3. ( A)       =   280, 460 +  36000,77129 x T
                             280,460   + 36000,77129  x  0,1116689482

3. ( A)  =   280, 460 +  36000,77129 x T
                             280,460   + 36000,77129  x  0,1116689482
                        =   4300,628264   (bila nilainya lebih dari 360, maka harus dibagi 360)
                             4300,628264 / 360  ------------------    11,94618962
              0,94618962  x  360 
          =  340,6282632
       4.  (B )      =   357,528  + 35999,05096  x  T
                             357,528  + 35999,05096 x  0,1116689482
                         =  4377,504157  ---------------------  4377,504157 / 360  =  12,15973377
                             0,15973377  x  360
                        =   57,504157    
       5. (E )       =   23,439      -  0,01461  x   T
                             23,439      -  0,01461  x   0,1116689482
                        =   23,43736852




  1. Bujur Matahari (Longitude of Sun) :
LS =  A  +  1,915  x  Sin  B   +   0,02  x  Sin (2 x B)
      =  340,6282632 + 1,915  x Sin  57,504157 + 0,02  x  sin (2 x57,504157)
      =  342,2615574      (342o  15’  41,61”  )

  1. Deklinasi Matahari (Declination of Sun) :
DS  =   Sin -1 ( Sin LS  x  sin E )
       =   -06o  57’   37,28”
  1. Panjatan Tegak Matahari (Assensio Rekta Matahari) :
RS  =   Tan-1  (Tan LS  x  Cos E)
       =   -16,3563611  +  360
       =   343,6436389   ( 343o  39’  37,13” )   
  1. Perata Waktu Matahari (03 Maret 2011 M. )
e     =    ( A   -   RS ) / 15
       =    -0,2010250467  (bahagian jam)
  1. Waktu Tengah Hari Matahari (Meridian Pass) :
MP =  12  -  e
       =  12  -  (-0,2010250467)
       =  12,20102505  (=pukul :  12j  12m  03,69d ) menurut  standard LMT
  1. Koreksi Waktu Kesatuan (KWK) untuk kota Medan :
Standard Bujur Waktu Indonesia (SBWI ) untuk kota Medan ( 105o BT)
Lintang (PE) Medan = 03.6333333 (LU)
Bujur    (LE) Medan = 98.6333333 (BT)
KWK      =    ( SBWI  -   Bujur Kota/ LE ) / 15        
KWK  kota Medan  =  ( 105 – 98,6333333 ) / 15
                                =   +0,4244444444 jam  ( 00j  25m  28d ) menurut  WIB.
             

Hasil Rekapitulasi Dari Hasil Hisab tersebut di atas, maka dapat ditentukan awal waktu-waktu shalat untuk markaz kota Medan (Sumatera Utara) pada tanggal 03 Maret 2010 M. sebagai berikut :

1. Waktu Zhuhur         =    Pukul      12.39.32   Wib.
2. Waktu ‘Ashar          =    Pukul      15.55.42   Wib.
3. Waktu  Maghrib      =    Pukul      18.41.47   Wib.
4. Waktu  ‘Isya           =    Pukul      19.50.04    Wib.
5. Waktu  Imsak          =    Pukul      05.10.57    Wib.
6. Waktu  Shubuh       =    Pukul      05.20.57    Wib.
7. Waktu  Syuruq        =    Pukul      06.35.17    Wib.            
 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar